Selasa, 21 Juli 2020

SEJARAH PERKEMBANGAN FIKIH (PERTEMUAN KEDUA), 2 AGUSTUS 2021



RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Madrasah            : MA Al Fatich
Mata Pelajaran   : Fikih
Kelas/Semester    : X/Ganjil
Materi Pokok       : Memahami Konsep Fikih Dalam Islam


Kompetensi Inti (KI)

Kompetensi Dasar (KD)

3. Memahami, menerapkan, men- ganalisis pengetahuan fak- tual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahun- ya tentang ilmu pengetahuan, tehnologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,

3.1.        Memahami konsep fikih dalam Islam

 



SEJARAH PERKEMBANGAN FIKIH

    Secara historis, perkembangan hukum Islam/fikih dibagi ke dalam lima periode, yaitu: periode Nabi, periode Sahabat, periode ijtihad serta kemajuan, periode taklid serta kemunduran, dan periode kebangkitan kembali.

1. Periode Nabi (610-632 M) 

    Pada masa ini Nabi Muhammad Saw. menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat berdasarkan wahyu yang turun secara berangsur-angsur. Sedangkan terhadap masalah yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah turun, Nabi melakukan ijtihad (putusan yang didasarkan pada pemikiran yang mendalam). Ketika ijtihad Nabi Saw tentang hukum ini benar, biasanya tidak diikuti oleh turunnya ayat al-Qur’an untuk memperbaikinya. Dan sebaliknya, ketika putusan Nabi Saw. tersebut “tidak benar”, Allah menurunkan ayat al-Qur’an untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Inilah yang dimaksud Nabi Muhammad Saw. disebut terjaga dari kesalahan (ma'ṣūm). Pada periode ini seluruh persoalan dikembalikan kepada Nabi Muhammad Saw, untuk diputuskan, sehingga Nabilah yang menjadi satu-satunya sumber fikih (hukum). Pada posisi seperti ini, Prof. Harun Nasution menyebut bahwa secara langsung pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara tidak langsung Allahlah pembuat hukumnya, karena hukum yang dikeluarkan Nabi tersebut bersumber pada wahyu Allah. Peran Nabi dalam masalah hukum ini seakan hanya bertugas untuk menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan oleh Allah. Selanjutnya apa yang diterimanya dari Allah ini terhimpun dalam al-Qur’an dan sunnah yang bisa dijadikan sumber hukum untuk generasi sesudahnya.

2. Periode Sahabat (632-662) 

    Meluasnya wilayah Islam pada periode ini, mau tidak mau umat Islam bersentuhan dengan wilayah di luar semenanjung Arabia yang telah mempunyai peradaban tinggi dan susunan masyarakat yang tidak sederhana lagi. Kompleksitas yang semakin tinggi ini juga memaksa munculnya persoalan baru yang menuntut ditentukan hukum fikihnya. 

    Menghadapi kompleksitas masalah baru ini biasanya para sahabat merujuk pada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Dalam hal kembali pada al-Qur’an, bagi para sahabat tidak terlalu menjadi masalah karena al-Qur’an sudah mereka hafal dan sudah dibukukan pada masa Abu Bakar, dan semakin tersempurnakan pada masa Utsman bin Affan. Berbeda halnya dengan al-Qur’an, masalah sunnah Nabi, yang belum dihafal dan dibukukan menjadi masalah baru, dimana mereka yang tidak bertanggung jawab membuat-buat perkataan yang dinisbahkan kepada Nabi, yang dikemudian dikenal sebagai hadis palsu. 

    Kompleksitas masalah muncul dan terbatasnya ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum yang tidak mencakup seluruh masalah yang muncul untuk ditentukan hukumnya, ditambah dengan hadis palsu, memaksa Khalifah dan para Sahabat untuk melakukan ijtihad. Karena turunnya wahyu sudah terhenti pada masa ini, maka tidak ada lagi sumber yang bisa digunakan untuk mengkonfirmasi benar tidaknya sebuah ijtihad. Untuk mengatasi masalah ini para sahabat tidak memutuskan masalah secara sendiri-sendiri, melainkan memutuskannya secara bersama-sama secara bulat, yang lebih dikenal sebagai ijmā’ sahabat. Namun ijmā’ ini hanya mudah dilakukan pada masa Abu Bakar, tidak pada masa Umar dan seterusnya karena para Sahabat sudah tersebar ke daerah-daerah yang jatuh di bawah kekuasaan Islam, seperti Mesir, Suria, Irak dan Persia. Oleh karena itu pada masa ini memunculkan apa yang diputuskan hukumnya dengan ijtihād pada persoalanpersoalan yang tidak dijumpai secara langsung dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ijma’ sahabat dan sunnah sahabat. Singkatnya, bagi generasi berikutnya sumber hukum ditambah sunnah sahabat, mendampingi al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

3. Periode Ijtihad dan Kemajuan (700-1000 M). 

    Pada periode ini ditandai dengan pengumpulan hadis, ijtihad atau fatwa Tabi’in (generasi setelah sahabat). Sebagaimana pada masa Sahabat, pada era tabi'in ini wilayah kekuasaan Islam mengalami perluasan yang sangat pesat. Hal ini juga diikuti munculnya banyak problem yang memerlukan penetapan hukum agamanya (baca: fikih). Menyikapi hal ini, para ahli hukum pada waktu itu banyak melakukan ijtihad berdasarkan al-Qur’an, sunnah Nabi dan ijtihad sahabat. Dari banyak ulama yang melakukan ijtihad ini, mereka yang memiliki otoritas keilmuan di bidang fikih ada yang mendapat pengakuan secara luas, yang selanjutnya mereka menjadi rujukan dalam menyelesaikan problematika hukum. Di antara para mujtahid yang menjadi panutan ini kemudian dikenal dengan sebutan imam atau faqīh dalam Islam. 

    Para imam di masa Tabi'in ini, sesuai dengan luasnya wilayah Islam di masa itu, tersebar di berbagai wilayah Islam. Di Madinah misalnya, terdapat Sa’id Ibn Masayyab,’Urwah bin Zubair dan al-Qasim ibn Muhammad. Dari tabi’in ini kemudian lahirlah murid-murid yang melanjutkan pemikiran mereka, seperti Muhammad Ibn Syahab al-Zuhri, Yahya Ibn Sa’id dan Malik bin Anas. Yang terakhir ini selanjutnya menjadi pendiri mazhab Maliki, sebagaimana yang sering kita dengar. 

Sementara itu, para fuqaha Tabiin yang terkenal di Mekah adalah ‘Ikrimah dan Mujahid, yang melahirkan murid-murid terkenal mereka seperti Sufyan Ibn ‘Uyanah dan Muslim Ibn Khalid. Dari murid-murid Tabiin yang ada di Mekah inilah Imam Syafi’i belajar sewaktu berada di Mekah. Imam Syafi’i ini selanjutnya mendirikan mazhab Syafi’i yang berkembang luas di dunia Islam. Selain belajar pada ulama fikih di Makkah, Imam Syafi’i juga belajar dari ulama fikih yang silsilah keilmuannya berasal dari Tabiin yang tinggal di Mesir, seperti Yazid Ibn Habib. Dari Yazid inilah lahir al-Laiz Ibn Sa’ad, seorang ulama fikih yang terkenal, yang dari beliau ini Imam Syafi’i belajar banyak tentang Islam, termasuk fikih. 

    Ulama dari golongan Tabi'in ada juga yang menempati wilayah Kufah, seperti ‘Alqamah bin Qais dan al-Qadhi Syuraih, di mana murid mereka yang paling masyhur adalah Ibrahim al-Nakha’i. Dari Ibrahim al- Nakha’i ini melahirkan murid yang juga sangat terkenal di masanya, yakni Hammad Ibn Abi Sulaiman, yang darinya Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) belajar. Karena berada di tempat yang jauh dari sumber beredarnya sunnah Nabi (Madinah) yang ketika itu masih disebarkan dalam budaya tutur dan perkembangan kebudayaan masyarakat yang tinggi, maka Imam Abu Hanifah lebih banyak menggunakan “pendapat” (الرأي ) dalam menyelesaikan permasalahan yang menuntut penyelesaian hukumnya. Beliau hanya menggunakan sunnah yang betul-betul diyakini kebenarannya. Oleh karena itu mazhab yang satu ini lebih dikenal sebagai mazhab ahlu ra’yi. Meskipun demikian, ia tidak terlalu fanatik terhadap pendapatnya dengan selalu mengatakan: “inilah pendapat saya…dan kalau ada orang lain yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.”

    Sementara itu dari Baghdad yang berakar pada Tabi'in yang melahirkan Imam Abu Hanifah, dan selanjutnya memunculkan Abu Yusuf yang menjadi ulama terkenal, dan sekaligus guru Ahmad Ibn Hanbal, pendiri mazhab Hambali. Guru lain dari Ahmad Ibn Hanbal ini adalah Imam Syafi’i. 

    Sejarah sebenarnya mencatat lebih dari empat mazhab fikih di atas, dari golongan ahlus sunnah, seperti mazhab Sufyan al-Sauri, mazhab Syuraih al-Nakha’i, mazhab Abi Saur, mazhab al-Auza’i, mazhab al-Thabari dan mazhab al-Zahiri. Singkatnya di antara mazhab ahlus sunnah ini ada yang kurang populer kemudian menghilang, sehingga yang muncul atau dikenal hanya tinggal empat mazhab di atas. Sementara itu di kalangan Syi’ah muncul mazhab Zaidiyah, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan mazhab Syi’ah Ismailiyah. 

    Gambaran singkat pada periode ini adalah betapa dinamisnya perkembangan ilmu fikih. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mazhab yang muncul tersebut. Bahkan pada periode ini terjadi pembukuan hadis dan fatwa-fatwa imam besar.

4. Periode Taqlid (Sekitar Abad ke-4 Hijriyah/ke-12 Masehi) 

    Bersamaan dengan kemunduran kebudayaan umat Islam, pada periode ini bisa dikatakan perkembangan hukum fikih mengalami kemandegan. Empat mazhab yang ada mengalami kestabilan di tengah masyarakat, sehingga perhatian orang bukan lagi ke al-Qur’an dan sunnah Nabi, tetapi lebih memperhatikan buku-buku fikih yang berisi fatwa fikih imam-imam besar tersebut. Hal ini diperparah oleh ulama-ulama mazhab yang mempertahankan mazhab imam mereka masing-masing. Mereka sudah merasa cukup menjadi mujtahid fil mazāhib, enggan beranjak meningkatkan kualitas diri menjadi mujtahid muṡaqqil seperti empat imam mazhab sebelumnya.

5. Periode kebangkitan kembali (Abad 19 Masehi s/d Sekarang) 

    Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran Islam telah bangkit kembali. Hal ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlīd tersebut. Sikap taqlīd yang tidak mau melakukan ijtihad itu telah membawa kemunduran Islam. Untuk itu, pada periode ini terdapat beberapa ulama yang menyuarakan untuk membuka kembali pintu ijtihad. Namun, bentuk ijtihadnya bukan ijtihad secara individu, tetapi ijtihad secara kolektif (ijtihād jama’i). 

    Di masa kini, ijtihad kolektif sudah dilembagakan atau dibentuk sebuah forum oleh institusi-institusi Islam terkenal. Terdapat beberapa forum besar dan terkenal yang menerapkan ijtihad kolektif di masa kini, di antaranya adalah: 
  1. Majma’ ul-Buhūṡ il-Islāmiyah yang didirikan pada tahun 1381 H./1961 M, bertempat di al-Azhar Mesir. 
  2. Al-Majma’ al-Fiqhi milik Liga Dunia Islam (Rabīṭah il-Ālam al-Islāmi) yang berkedudukan di Mekah, didirikan pada tahun 1398 H. 
  3. Majma’ al-Fiqh al-Islāmi milik OKI (Organisasi Konferensi Islam) atau Munāẓamāt al-Mu’tamar al-Islāmi yang bersekretariat di Jeddah, yang berdiri setelah Mu’tamar al-Qimmah al-Islāmiyah pada tahun 1401 H./1981 M. 
  4. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tahun 1975 
  5. Forum Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama 
  6. Majelis tarjih Muhamadiyah, dan lain-lain. Forum di atas, sejak awal didirikannya, telah banyak memberikan kontribusi yang signifikan bagi penyelesaian problematika umat Islam, dari permasalahan agamis sampai permasalahan sosial umat Islam. Hal itu dapat kita lihat dari fatwa-fatwa atau keputusankeputusan yang dihasilkannya. 













Senin, 20 Juli 2020

SUJUD SYUKUR (PERTEMUAN KEDUA), 31 JULI 2021



RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Madrasah            : MTs Al Fatich
Mata Pelajaran   : Fikih
Kelas/Semester    : VIII/Ganjil
Materi Pokok       : Sujud Sahwi, Sujud Syukur dan Sujud Tilawah

KOMPETENSI DASAR

INDIKATOR

3.1. Menerapkan tata cara sujud sahwi, tilawah, dan syukur

3.1.1                Memahami pengertian sujud sahwi, syukur dan tilawah

3.1.2                Mengidentifikasi sebab- sebab sujud sahwi, syukur dan tilawah

3.1.3                Mengimplementasikan tata cara sujud sahwi, syukur dan tilawah

4.1. Mempraktikkan tata cara sujud sahwi, tilawah, dan syukur

4.1.1                 Menyimpulkan persamaan dan perbedaan antara sahwi, syukur dan syukur

4.1.2                 Mempraktikkan tata cara sujud sahwi, syukur dan syukur dengan benar



SUJUD SYUKUR

1. Pengertian Sujud Syukur 

    Dalam hidup ini kita tidak pernah terlepas dari nikmat Allah Swt. Udara yang kita hirup, makanan dan minuman yang setiap hari kita konsumsi, tempat tinggal dan lain-lain semuanya merupakan nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita. Bersyukur tidak hanya semata-mata saat mendapat kesenangan maupun nikmat saja melainkan saat kamu terhindar dari marabahaya atau musibah, karena Allah Swt. telah memberikan keselamatan 

    Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. dengan membaca hamdalah dan menggunakan nikmat itu untuk kebaikan. 

    Selain itu, dalam keadaan tertentu kita bahkan dianjurkan untuk mengungkapkan syukur dengan bersujud, yang disebut dengan sujud syukur. Jadi sujud syukur adalah sujud yang dilakukan karena mendapat nikmat atau karena terhindar dari bahaya atau musibah.

2. Hukum dan Dalil Sujud Syukur 

    Bersyukur kepada Allah Swt. adalah kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Sementara itu mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Swt. dengan sujud syukur adalah Sunah. 



3. Sebab-sebab Sujud Syukur 

    Hal-hal yang menyebabkan seseorang diSunahkan melakukan sujud syukur adalah: 
    a. Karena mendapatkan nikmat dan karunia dari Allah Swt. 
    b. Mendapatkan kabar gembira atau berita yang menyenangkan. 
    c. Terhindar atau selamat dari bahaya (musibah) yang akan menimpanya. 

4. Syarat dan Rukun Sujud Syukur 

a. Syarat Sujud Syukur 

    Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum kita melakukan sujud syukur, antara lain: 
1. Suci dari hadas dan najis baik badan, pakaian maupun tempat. 
2. Menghadap kiblat sebagaimana salat, jika mengetahui arah kiblat. 
3. Menutup aurat. 

b. Rukun Sujud Syukur 

    Sedangkan yang termasuk rukun sujud syukur antara lain: 
1. Niat, yaitu menyengaja mengerjakan sujud syukur 
2. Takbiratul ihram, dengan membaca “Allaahu akbar” 
3. Sujud, sambil membaca doa sujud syukur 
4. Duduk sesudah sujud (tanpa membaca tasyahud) 
5. Salam sesudah bangun dari sujud 
6. Tertib 

Adapun bacaan yang masyhur adalah:



4. Hikmah Sujud Syukur 

    Hikmah yang bisa dipetik dari pelaksanaan sujud syukur antara lain: 
a. Mengingatkan dan mendekatkan diri kepada Dzat yang memberi nikmat dan keselamatan yaitu Allah     Swt. 
b. Menghindarkan diri dari sifat sombong, karena apa yang kita peroleh semuanya berasal dari Allah         Swt. 
c. Allah akan menambah nikmat untuk kita, karena orang yang bersyukur akan ditambah nikmatnya. 
d. Sebagai bentuk ungkapan kepasrahan hamba kepada Tuhannya. 
e. Mendapatkan pahala dan di akhirat akan disediakan tempat yang istimewa bagi mereka yang pandai     bersyukur. 
f. Membantu membuat badan menjadi sehat dan bugar. 















Sabtu, 18 Juli 2020

MEMAHAMI KONSEP FIKIH DALAM ISLAM (PERTEMUAN PERTAMA), 26 JULI 2021


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Madrasah            : MA Al Fatich
Mata Pelajaran   : Fikih
Kelas/Semester    : X/Ganjil
Materi Pokok       : Memahami Konsep Fikih Dalam Islam


Kompetensi Inti (KI)

Kompetensi Dasar (KD)

3. Memahami, menerapkan, men- ganalisis pengetahuan fak- tual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahun- ya tentang ilmu pengetahuan, tehnologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,

3.1.        Memahami konsep fikih dalam Islam

 





    Islam adalah agama yang sempurna karena segala persoalan yang ada di dunia ini termasuk semua bentuk perbuatan manusia telah diatur di dalamya. Agama Islam diturunkan oleh Allah Swt. untuk dijadikan pedoman hidup bagi manusia baik yang berkaitan hubungan manusia dengan Allah (ḥablum minallāh) maupun hubungan manusia dengan manusia (ḥablum minannās). Hal ini karena tugas manusia di dunia ini tidak lain adalah hanya ibadah kepada Allah Swt. Meskipun itu merupakan tugas manusia, tetapi pelaksanaan ibadah sejatinya bukanlah untuk Allah, karena Allah Swt. tidak memerlukan apapun dari manusia. Allah Maha Kaya dan Maha segala-galanya. Ibadah pada dasarnya adalah untuk kebutuhan dan keutamaan manusia itu sendiri. 

    Dalam bab pertama ini akan dibahas tentang persoalan hukum dan ibadah dalam Islam, yaitu peraturan-peraturan yang diperuntukkan kepada manusia sekaligus bagaimana tata cara pelaksanaannya. Ada persoalan yang patut dijawab mengapa terkadang kita menjumpai orang mengerjakan shalat tata caranya beraneka ragam misalnya cara mengangkat tangan ketika takbīrātul iḥrām, posisi tangan ketika melipat di dada maupun di perut, posisi telunjuk tangan ketika takhiyat dan lain-lain. Padahal bukankah sumber hukum perintah shalat adalah sama yaitu Al-Qur’an? Mengapa bisa seperti itu?

Untuk menjawab semua itu tentunya kita harus bisa membedakan antara syari’ah, fikih dan ibadah. Untuk itu marilah kita pelajari dan kita gali persoalan tersebut dalam bab yang pertama ini.



A. Konsep Fikih dalam Islam 

    Kata fikih berasal dari bahasa Arab, yakni kata fiqhun, yang secara bahasa terambil dari kata faqiha yafqahu fiqhan yang berarti (Fahmun 'Amiq) pemahaman yang mendalam. Karena fikih merupakan pemahaman yang mendalam, maka ia mensyaratkan pengerahan potensi akal secara maksimal dengan metodologi keilmuan yang benar. Ilmu fikih dikenal sebagai salah satu bidang keilmuan dalam syari’at Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik menyangkut individu, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan Penciptanya. 

    Definisi fikih secara istilah mengalami perkembangan dari masa ke masa, sehingga tidak pernah bisa kita temukan satu definisi yang tunggal. Pada setiap masa itu para ahli merumuskan pengertiannya sendiri. Contohnya, Imam Abu Hanifah mengemukakan bahwa fikih adalah pengetahuan manusia tentang hak dan kewajibannya. Dengan demikian, fikih bisa dikatakan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam, yang bisa masuk pada wilayah akidah, hukum, ibadah dan akhlak. Pada perkembangan selanjutnya, ada definisi yang paling populer, yakni definisi yang dikemukakan oleh al-Amidi ulama ahli usul fikih Mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa fikih adalah ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci.

   Di samping definisi yang tersebut di atas, ada beberapa definisi fikih yang dikemukakan oleh ulama ushul fikih yakni: 

1. Ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Definisi ini muncul dikarenakan kajian fikih yang dilakukan oleh fuqahā menggunakan metodemetode tertentu, seperti qiyās, istiḥsān, istiṣḥāb, istiṣlah, sadduż żarī’ah, dan sebagainya. 

2. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah (wajib), larangan (haram), pilihan (mubah), anjuran untuk melakukan (sunnah), maupun anjuran agar menghindarinya (makruh) yang didasarkan pada sumbersumber syari’ah, bukan akal atau perasaan. 

3. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan ibadah dan mu’amalah. Dari sini bisa dimengerti kalau fikih merupakan hukum syari’at yang lebih bersifat praktis yang diperoleh dari istidlāl atau istinbāṭ (penyimpulan) dari sumber-sumber syari’at (alQur’an dan Hadis).

4. Fikih diperoleh melalui dalil yang terperinci (tafṣīli), yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah, qiyās dan ijmā’ melalui proses istidlāl, istinbāṭ atau naẓar (analisis). Oleh karena itu tidak disebut fikih manakala proses analisis untuk menentukan suatu hukum tidak melalui istidlāl atau istinbāṭ terhadap salah satu sumber hukum tersebut. 

Ulama fikih sendiri mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliyah (yang akan dikerjakan) yang disyari’atkan dalam Islam. Dalam hal ini kalangan fuqaha membaginya menjadi dua pengertian, yakni: pertama, memelihara hukum furū' (cabang) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya. Kedua, materi hukum itu sendiri, baik yang bersifat qaṭ’i maupun yang bersifat ẓanni. 

Sementara itu, Musthafa Ahmad az-Zarqa, seorang pakar fikih dari Yordania, membagi fikih menjadi dua, yaitu ilmu tentang hukum, termasuk ushul fikih dan kumpulan hukum furū'.

B. Ruang Lingkup Fikih 

    Ruang lingkup yang terdapat pada ilmu fikih adalah semua hukum yang berbentuk amaliyah untuk diamalkan oleh setiap mukallaf (orang yang sudah dibebani atau diberi tanggungjawab melaksanakan syariat Islam karena sudah baligh dan berakal). 

    Hukum yang diatur dalam fikih Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Di samping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah dan sebagainya. Obyek pembicaraan ilmu fikih adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan orangorang mukallaf yakni orang yang telah akil baligh dan mempunyai hak dan kewajiban. 

C. Persinggungan Fikih dengan Syari’at 

Secara etimologi, kata syari’at berarti sumber air yang digunakan untuk minum. Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering untuk menyebut jalan yang lurus yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti karena sumber mata air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selanjutnya arti syari’at menjadi agama yang lurus yang diturunkan oleh Allah Swt. (satu-satunya Tuhan semesta alam) untuk umat manusia. 

Selanjutnya para pakar fikih menjelaskan syari’at secara terminologis sebagai berikut: 

1. Asy-Syatibi (w. 790 H) menjelaskan bahwa syari’at sama dengan agama
 
2. Manna al-Qaṭṭan (pakar fikih dari Mesir) mengatakan bahwa syari’at merupakan segala ketentuan Allah Swt. bagi hamba-Nya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

    Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah wahyu yang bebas dari kesalahan, baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliyah (fikih). Upaya untuk memahami teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan hukum sesuatu inilah yang dikenal sebagai ijtihād (dimana aturan ijtihad atau dalam istidlāl untuk memperoleh hukum suatu persoalan tersebut, mereka menggunakan ushul fikih). Dengan kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu kualitas kebenarannya tidak bisa disamakan dengan kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu tidak salah, kalau dalam penjelasannya Fathi ad-Duraini guru besar fikih di Universitas Damaskus (Suriah) mengatakan bahwa syari’at selamanya bersifat benar, sedangkan fikih karena merupakan hasil pemikiran manusia memungkinkan untuk benar ataupun salah.

Contoh Sederhana Perbedaan Syari’at, Fikih dan bukan Fikih 

Untuk memperoleh gambaran yang bisa mempermudah kalian membedakan syari’at, fikih dan bukan fikih, di bawah ini ada beberapa ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi terkait dengan wudhu yaitu:



    Dari ayat dan hadis di atas, para ulama fikih merumuskan rukun wudhu ada enam, yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala dan membasuh kaki, serta dilakukan dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis ketika memulai sebuah perbuatan (dalam hal ini wudhu), sedangkan setelah itu dari membasuh muka sampai dengan kaki diperoleh dari al-Qur’an. Sementara itu tertib diperoleh dari kaidah ushul fikih bahwa huruf wawu (و (pada surat al-Maidah di atas menunjukkan urutan, di samping konfirmasi kebenarannya juga ditemukan dalam praktek wudhu yang dilakukan Rasulullah. Ketika terjadi perbedaan antar ulama fikih, apakah niat itu dilafalkan ataukah cukup dalam hati, maka perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya tidak sampai menghilangkan keabsahan wudhu yang dilakukan seseorang, dan masih bisa dikategorikan memiliki dasar berpijak dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi (sebagai syari’at). Perbedaan inilah yang disebut perbedaan fiqhiyyah.

     Sedangkan contoh pendapat yang keluar dan tidak bisa disebut sebagai fikih (pemahaman yang mendalam atas al-Qur’an dan sunnah Nabi), adalah ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan seperti ini tidak disebut fikih, dan tidak sah disebut sebagai wudhu. Demikian gambaran sekilas persinggungan fikih dengan syari’at, dan fikih dengan yang bukan fikih.






















Jumat, 17 Juli 2020

SUJUD SAHWI (PERTEMUAN PERTAMA), 17 JULI 2021




RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Madrasah            : MTs Al Fatich
Mata Pelajaran   : Fikih
Kelas/Semester    : VIII/Ganjil
Materi Pokok       : Sujud Sahwi, Sujud Syukur dan Sujud Tilawah

KOMPETENSI DASAR

INDIKATOR

3.1. Menerapkan tata cara sujud sahwi, tilawah, dan syukur

3.1.1                Memahami pengertian sujud sahwi, syukur dan tilawah

3.1.2                Mengidentifikasi sebab- sebab sujud sahwi, syukur dan tilawah

3.1.3                Mengimplementasikan tata cara sujud sahwi, syukur dan tilawah

4.1. Mempraktikkan tata cara sujud sahwi, tilawah, dan syukur

4.1.1                 Menyimpulkan persamaan dan perbedaan antara sahwi, syukur dan syukur

4.1.2                 Mempraktikkan tata cara sujud sahwi, syukur dan syukur dengan benar


SUJUD SAHWI, SYUKUR, DAN TILAWAH


Pengertian Sujud Sahwi 
  

Senin, 13 Juli 2020

Ta'aruf dengan peserta didik baru tahun pelajaran 2020



ASSALAMUALAIKUM....

Anak-anaku sekalian baik yang di MTs maupun yang di MA Al Fatich, salam kenal dari Bapak sebagai guru mata pelajaran Fikih dikelas kalian. Nama saya Athoillah Al Mursyid, biasa dipanggil pak Atho'. Jabatan saya di Madrasah Aliyah sebagai Waka Sarana Prasarana (SARPRAS). 

Mohon ma'af silaturrahim awal kita lewat daring dikarenakan keadaan yang tidak memungkinkan untuk masuk pembelajaran di kelas karena sampai saat ini Kota Surabaya masih mengalami Pandemi Covid -19.  

Anak-anaku sekalian..

Tertanggal 13 Bulan Juli Tahun 2020,  sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan bahwa Tahun Ajaran baru 2020 sudah mulai aktif kembali, akan tetapi bagi wilayah yang masih zona merah akan melakukan pembalajaran lewat Online sampai waktu yang tidak ditentukan. 

Anak-anakku sekalian..

pesan bapak diakhir perkenalan ini, untuk selalu jaga kesehatan dengan cara makan-makanan yang bergizi, sering-sering cuci tangan dengan sabun, kalau keluar rumah memakai masker dan sosial distancing dengan orang-orang sekitarnya.. semoga kita semua dalam pertolongan dan lindungan Allah SWT. amin

Sekian dari bapak, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.. 

Wassalamualaikum...   







Makanan Halal Dan Haram

  Makanan Halal Dan Haram Arti makanan halal Makanan halal adalah makanan yang diijinkan oleh Syariat Islam untuk dikonsumsi. Adapun Syariat...