RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Madrasah : MA Al Fatich
Mata Pelajaran : Fikih
Kelas/Semester : X/Ganjil
Materi Pokok : Memahami Konsep Fikih Dalam Islam
Kompetensi Inti (KI)
|
Kompetensi
Dasar (KD)
|
3. Memahami,
menerapkan, men- ganalisis pengetahuan fak- tual, konseptual, prosedural
berdasarkan rasa ingintahun- ya tentang ilmu pengetahuan, tehnologi, seni,
budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
|
3.1.
Memahami konsep fikih dalam Islam
|
Islam adalah agama yang sempurna karena segala persoalan yang ada di dunia ini termasuk
semua bentuk perbuatan manusia telah diatur di dalamya. Agama Islam diturunkan oleh Allah
Swt. untuk dijadikan pedoman hidup bagi manusia baik yang berkaitan hubungan manusia
dengan Allah (ḥablum minallāh) maupun hubungan manusia dengan manusia (ḥablum
minannās). Hal ini karena tugas manusia di dunia ini tidak lain adalah hanya ibadah kepada
Allah Swt. Meskipun itu merupakan tugas manusia, tetapi pelaksanaan ibadah sejatinya
bukanlah untuk Allah, karena Allah Swt. tidak memerlukan apapun dari manusia. Allah Maha
Kaya dan Maha segala-galanya. Ibadah pada dasarnya adalah untuk kebutuhan dan keutamaan
manusia itu sendiri.
Dalam bab pertama ini akan dibahas tentang persoalan hukum dan ibadah dalam Islam,
yaitu peraturan-peraturan yang diperuntukkan kepada manusia sekaligus bagaimana tata cara
pelaksanaannya. Ada persoalan yang patut dijawab mengapa terkadang kita menjumpai orang
mengerjakan shalat tata caranya beraneka ragam misalnya cara mengangkat tangan ketika
takbīrātul iḥrām, posisi tangan ketika melipat di dada maupun di perut, posisi telunjuk tangan
ketika takhiyat dan lain-lain. Padahal bukankah sumber hukum perintah shalat adalah sama
yaitu Al-Qur’an? Mengapa bisa seperti itu?
Untuk menjawab semua itu tentunya kita harus bisa membedakan antara syari’ah, fikih dan
ibadah. Untuk itu marilah kita pelajari dan kita gali persoalan tersebut dalam bab yang pertama
ini.
A. Konsep Fikih dalam Islam
Kata fikih berasal dari bahasa Arab, yakni kata fiqhun, yang secara bahasa terambil dari
kata faqiha yafqahu fiqhan yang berarti (Fahmun 'Amiq) pemahaman yang mendalam. Karena
fikih merupakan pemahaman yang mendalam, maka ia mensyaratkan pengerahan potensi
akal secara maksimal dengan metodologi keilmuan yang benar. Ilmu fikih dikenal sebagai
salah satu bidang keilmuan dalam syari’at Islam yang secara khusus membahas persoalan
hukum atau aturan yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik menyangkut
individu, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.
Definisi fikih secara istilah mengalami perkembangan dari masa ke masa, sehingga
tidak pernah bisa kita temukan satu definisi yang tunggal. Pada setiap masa itu para ahli
merumuskan pengertiannya sendiri. Contohnya, Imam Abu Hanifah mengemukakan bahwa
fikih adalah pengetahuan manusia tentang hak dan kewajibannya. Dengan demikian, fikih
bisa dikatakan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam, yang bisa
masuk pada wilayah akidah, hukum, ibadah dan akhlak. Pada perkembangan selanjutnya,
ada definisi yang paling populer, yakni definisi yang dikemukakan oleh al-Amidi ulama ahli
usul fikih Mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa fikih adalah ilmu tentang hukum syara’
yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci.
Di samping definisi yang tersebut di atas, ada beberapa definisi fikih yang dikemukakan
oleh ulama ushul fikih yakni:
1. Ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Definisi ini
muncul dikarenakan kajian fikih yang dilakukan oleh fuqahā menggunakan metodemetode tertentu, seperti qiyās, istiḥsān, istiṣḥāb, istiṣlah, sadduż żarī’ah, dan sebagainya.
2. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam
bentuk perintah (wajib), larangan (haram), pilihan (mubah), anjuran untuk melakukan
(sunnah), maupun anjuran agar menghindarinya (makruh) yang didasarkan pada sumbersumber syari’ah, bukan akal atau perasaan.
3. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan ibadah dan mu’amalah. Dari
sini bisa dimengerti kalau fikih merupakan hukum syari’at yang lebih bersifat praktis
yang diperoleh dari istidlāl atau istinbāṭ (penyimpulan) dari sumber-sumber syari’at (alQur’an dan Hadis).
4. Fikih diperoleh melalui dalil yang terperinci (tafṣīli), yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah,
qiyās dan ijmā’ melalui proses istidlāl, istinbāṭ atau naẓar (analisis). Oleh karena itu
tidak disebut fikih manakala proses analisis untuk menentukan suatu hukum tidak
melalui istidlāl atau istinbāṭ terhadap salah satu sumber hukum tersebut.
Ulama fikih sendiri mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliyah
(yang akan dikerjakan) yang disyari’atkan dalam Islam. Dalam hal ini kalangan fuqaha
membaginya menjadi dua pengertian, yakni: pertama, memelihara hukum furū' (cabang)
secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya. Kedua, materi hukum itu sendiri, baik
yang bersifat qaṭ’i maupun yang bersifat ẓanni.
Sementara itu, Musthafa Ahmad az-Zarqa, seorang pakar fikih dari Yordania,
membagi fikih menjadi dua, yaitu ilmu tentang hukum, termasuk ushul fikih dan
kumpulan hukum furū'.
B. Ruang Lingkup Fikih
Ruang lingkup yang terdapat pada ilmu fikih adalah semua hukum yang berbentuk
amaliyah untuk diamalkan oleh setiap mukallaf (orang yang sudah dibebani atau diberi
tanggungjawab melaksanakan syariat Islam karena sudah baligh dan berakal).
Hukum yang diatur dalam fikih Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunah, mubah, makruh
dan haram. Di samping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah
dan sebagainya.
Obyek pembicaraan ilmu fikih adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan orangorang mukallaf yakni orang yang telah akil baligh dan mempunyai hak dan kewajiban.
C. Persinggungan Fikih dengan Syari’at
Secara etimologi, kata syari’at berarti sumber air yang digunakan untuk minum. Namun
dalam perkembangannya kata ini lebih sering untuk menyebut jalan yang lurus yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti karena sumber mata
air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara kehidupannya, sedangkan
agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang akan membawa pada
keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selanjutnya arti
syari’at menjadi agama yang lurus yang diturunkan oleh Allah Swt. (satu-satunya Tuhan
semesta alam) untuk umat manusia.
Selanjutnya para pakar fikih menjelaskan syari’at secara terminologis sebagai berikut:
1. Asy-Syatibi (w. 790 H) menjelaskan bahwa syari’at sama dengan agama
2. Manna al-Qaṭṭan (pakar fikih dari Mesir) mengatakan bahwa syari’at merupakan segala
ketentuan Allah Swt. bagi hamba-Nya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata
kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah wahyu yang
bebas dari kesalahan, baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber pemahaman
ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliyah (fikih).
Upaya untuk memahami teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan
hukum sesuatu inilah yang dikenal sebagai ijtihād (dimana aturan ijtihad atau dalam istidlāl
untuk memperoleh hukum suatu persoalan tersebut, mereka menggunakan ushul fikih).
Dengan kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu kualitas kebenarannya
tidak bisa disamakan dengan kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni al-Qur’an
dan Sunnah. Oleh karena itu tidak salah, kalau dalam penjelasannya Fathi ad-Duraini guru
besar fikih di Universitas Damaskus (Suriah) mengatakan bahwa syari’at selamanya bersifat
benar, sedangkan fikih karena merupakan hasil pemikiran manusia memungkinkan untuk
benar ataupun salah.
Contoh Sederhana Perbedaan Syari’at, Fikih dan bukan Fikih
Untuk memperoleh gambaran yang bisa mempermudah kalian membedakan syari’at,
fikih dan bukan fikih, di bawah ini ada beberapa ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi terkait
dengan wudhu yaitu:
Dari ayat dan hadis di atas, para ulama fikih merumuskan rukun wudhu ada enam,
yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala dan membasuh kaki,
serta dilakukan dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis ketika memulai sebuah perbuatan
(dalam hal ini wudhu), sedangkan setelah itu dari membasuh muka sampai dengan kaki
diperoleh dari al-Qur’an. Sementara itu tertib diperoleh dari kaidah ushul fikih bahwa huruf wawu (و (pada surat al-Maidah di atas menunjukkan urutan, di samping konfirmasi
kebenarannya juga ditemukan dalam praktek wudhu yang dilakukan Rasulullah. Ketika
terjadi perbedaan antar ulama fikih, apakah niat itu dilafalkan ataukah cukup dalam hati,
maka perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya tidak sampai menghilangkan
keabsahan wudhu yang dilakukan seseorang, dan masih bisa dikategorikan memiliki
dasar berpijak dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi (sebagai syari’at). Perbedaan inilah
yang disebut perbedaan fiqhiyyah.
Sedangkan contoh pendapat yang keluar dan tidak bisa
disebut sebagai fikih (pemahaman yang mendalam atas al-Qur’an dan sunnah Nabi), adalah
ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan seperti
ini tidak disebut fikih, dan tidak sah disebut sebagai wudhu. Demikian gambaran sekilas
persinggungan fikih dengan syari’at, dan fikih dengan yang bukan fikih.